Berita Hindu Indonesia

Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Deskripsi-Gambar

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.
Makna Sembahyang Bagi Umat Hindu

On 9:44 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Sembahyang merupakan salah satu praktik spiritual yang paling penting dalam kehidupan umat Hindu. Istilah "sembahyang" berasal dari kata "sembah" (penghormatan) dan "hyang" (Tuhan atau kekuatan suci). Dalam konteks Hindu, sembahyang bukan hanya ritual rutin, melainkan bentuk pengabdian dan komunikasi suci antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa.

Sembahyang

Makna Sembahyang secara Filosofis

Dalam ajaran Hindu, sembahyang memiliki makna yang sangat dalam, yaitu:

1. Penyatuan Diri dengan Tuhan

Melalui sembahyang, umat Hindu menyatukan pikiran, perkataan, dan perbuatan kepada Tuhan. Ini merupakan langkah menuju pemurnian batin dan mendekatkan diri pada nilai-nilai spiritual.

2. Ungkapan Bhakti (Pengabdian)

Sembahyang menjadi media untuk menunjukkan bhakti (devosi) kepada Tuhan, serta sebagai rasa syukur atas anugerah dan kehidupan yang diberikan.

3. Pembersihan Diri

Dengan sembahyang, seseorang berusaha membersihkan pikiran dari keinginan duniawi, kemarahan, dan kebencian. Ini membantu umat mencapai kedamaian batin (shanti) dan keseimbangan hidup.

4. Kesadaran Akan Dharma

Sembahyang juga mengingatkan umat untuk selalu berjalan di jalan Dharma (kebenaran dan kewajiban moral), baik dalam hubungan dengan sesama manusia, alam, maupun Tuhan.

Jenis-Jenis Sembahyang dalam Hindu

Beberapa bentuk sembahyang yang umum dilakukan oleh umat Hindu antara lain:

  • Tri Sandhya Dilakukan tiga kali sehari (pagi, siang, sore) untuk menyatukan diri dengan kesucian waktu.
  • Panca Sembah Sembahyang yang dilakukan saat persembahyangan di pura atau saat upacara besar.
  • Sembahyang di Merajan/Sanggah Persembahyangan harian di tempat suci keluarga.
  • Sembahyang Hari Raya Dilakukan saat hari-hari besar seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dll.

Manfaat Sembahyang bagi Umat Hindu

  1. Keseimbangan Spiritual dan Duniawi
  2. Membantu umat menjalani hidup dengan harmoni, tidak hanya mengejar materi tetapi juga rohani.
  3. Meningkatkan Kesadaran Diri
  4. Sembahyang membawa ketenangan dan refleksi diri, sehingga seseorang lebih sadar akan peran dan tanggung jawabnya.

Penguatan Ikatan Sosial dan Religius

Sembahyang bersama dalam keluarga atau komunitas memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas umat Hindu.

Kesimpulan

Sembahyang bagi umat Hindu bukan sekadar kewajiban agama, tetapi merupakan jalan spiritual menuju kehidupan yang lebih suci, harmonis, dan bermakna. Dalam setiap doa dan persembahan, terselip harapan akan kedamaian, keselarasan, dan keberkahan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan sembahyang yang tulus dan disiplin, umat Hindu diarahkan untuk hidup dalam dharma, menciptakan dunia yang penuh kasih dan kebajikan.

Malam Jumat Kliwon 26 Juni 2025: Kenapa Banyak yang Pilih di Rumah Aja?

On 11:00 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Malam Jumat Kliwon selalu punya tempat tersendiri dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah Jawa dan Bali. Malam ini kerap dianggap sebagai malam yang istimewa, bahkan sakral, karena dipercaya memiliki dimensi spiritual yang lebih kuat dari malam-malam lainnya.

Pada Kamis malam tanggal 26 Juni 2025, bertepatan dengan Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang memilih untuk berada di rumah saja. Bukan tanpa alasan keputusan ini sering dilandasi oleh keyakinan, pengalaman budaya, dan tradisi turun-temurun yang masih lekat hingga hari ini.

Malam Jumat Kliwon

1. Malam Penuh Energi Gaib

Dalam kepercayaan Jawa, malam Jumat Kliwon dikenal sebagai waktu di mana alam spiritual lebih terbuka. Energi mistis diyakini meningkat, sehingga suasana menjadi lebih sunyi, lebih hening, bahkan terkadang dianggap menyeramkan. Tidak sedikit masyarakat yang merasa malam ini “berbeda”lebih berat, lebih tenang, dan lebih sakral.

Bagi sebagian orang, keluar rumah di malam ini bisa mengganggu keseimbangan atau bahkan membuka peluang untuk gangguan tak kasat mata. Karena itu, banyak yang lebih memilih tetap di rumah, melakukan kegiatan spiritual, atau cukup beristirahat dalam keheningan.

2. Waktu yang Dipilih untuk Tirakat dan Peribadatan

Jumat Kliwon juga merupakan momentum penting untuk menjalankan tirakat praktik laku spiritual yang dilakukan secara khusyuk. Bagi umat Hindu di Bali, malam ini bisa dijadikan saat untuk melukat (pembersihan diri secara spiritual), sembahyang, atau membakar dupa untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Sementara di tradisi kejawen atau kepercayaan lokal lainnya, Jumat Kliwon sering digunakan untuk bersemedi, melakukan ritual kebatinan, atau membaca doa-doa tertentu. Aktivitas ini umumnya dilakukan di rumah, tempat suci, atau lokasi yang dianggap sakral.

3. Cerita Mistis yang Menyebar di Budaya Pop

Cerita-cerita mistis tentang Jumat Kliwon juga berkembang di dunia hiburan dari sinetron, film horor, hingga cerita rakyat. Imajinasi tentang “malam yang angker” ini tak jarang mempengaruhi persepsi masyarakat. Bahkan, generasi muda pun ikut merasakan nuansa “seram” meski hanya dari tontonan di layar kaca.

Akibatnya, tidak sedikit orang yang merasa lebih aman dan nyaman di rumah pada malam Jumat Kliwon, meskipun mungkin tidak percaya sepenuhnya pada mitos-mitos tersebut.

4. Momen Kebersamaan dan Refleksi Diri

Bagi banyak keluarga, malam Jumat Kliwon juga dimaknai sebagai waktu untuk berkumpul, merenung, dan berbagi cerita leluhur. Tradisi ini menciptakan ruang untuk menjaga hubungan antaranggota keluarga sekaligus memperkuat nilai-nilai spiritual dan budaya.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, Jumat Kliwon bisa menjadi waktu jeda yang penuh makna  di mana manusia kembali kepada keheningan, ke dalam dirinya sendiri, dan kepada Tuhan.

Kesimpulan

Pilihan untuk tetap di rumah pada malam Jumat Kliwon 26 Juni 2025 bukan hanya karena rasa takut, melainkan karena dorongan spiritual, rasa hormat terhadap budaya, dan kebutuhan akan ketenangan. Dalam keheningan malam yang sakral ini, banyak orang memilih untuk mendekat pada Yang Maha Kuasa, menenangkan diri, dan menjaga keharmonisan dengan alam sekitar.

Jadi, jika malam ini kamu memilih untuk di rumah saja, bukan berarti kamu ketinggalan. Bisa jadi, kamu sedang menjalani salah satu bentuk penghormatan terdalam terhadap warisan budaya dan spiritual kita.


Rahajeng Rahina Suci Tilem Sadha

On 11:00 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pada setiap pergantian bulan, umat Hindu di Bali memperingati Tilem hari suci saat bulan menghilang dari pandangan. Namun, Tilem Sadha memiliki kedudukan khusus karena terjadi pada sasih Sadha, yaitu salah satu bulan paling sakral dalam kalender Bali. Tahun ini, Tilem Sadha diperingati dengan penuh makna dan kesucian.

Tilem Sadha

Apa Itu Tilem Sadha?

Tilem adalah hari suci ketika bulan berada dalam fase gelap total (bulan mati). Dalam konteks spiritual, ini adalah waktu yang tepat untuk menyucikan diri secara lahir dan batin, karena dipercaya alam semesta juga berada dalam titik sunyi dan hening.

Sadha adalah nama bulan dalam kalender Saka, biasanya jatuh sekitar bulan Juni atau Juli Masehi. Tilem yang jatuh pada sasih Sadha disebut Tilem Sadha, dan dianggap memiliki getaran spiritual yang sangat kuat.

Makna Spiritual Tilem Sadha

Tilem Sadha bukan hanya waktu untuk sembahyang biasa, melainkan juga momen untuk:

  • Memperdalam laku spiritual, seperti sembahyang, meditasi, dan introspeksi.
  • Memohon pengampunan dan penyucian diri atas segala kekotoran pikiran, ucapan, dan perbuatan.
  • Memperkuat hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, khususnya dalam manifestasi sebagai Dewa Siwa simbol pelebur kekotoran dan pemberi jalan pembebasan.

Tradisi & Upacara yang Dilakukan

Pada Tilem Sadha, umat Hindu biasanya melaksanakan:

  • Sembahyang di rumah dan pura keluarga
  • Melukat (pembersihan diri) di tempat suci seperti pancoran atau tirta
  • Matur piuning sebagai tanda bhakti dan permohonan kerahayuan
  • Di beberapa desa adat, juga dilakukan upacara caru atau banten pembersihan alam

Doa dan Harapan di Tilem Sadha

"Rahajeng Rahina Suci Tilem Sadha. Mugi ring rahina suci puniki, kita kasucian pikayun ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, katemahan rahayu, sudha, lan sidaning ajeng ring angga sarira sareng jagat alit/jagat agung."

Artinya: Semoga pada hari suci Tilem Sadha ini, kita semua dianugerahi kesucian oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tercipta kedamaian, kesucian, dan kebahagiaan dalam diri maupun alam semesta.

Penutup

Rahina Tilem Sadha mengingatkan kita bahwa dalam kegelapan sekalipun, ada kesempatan untuk menyucikan diri dan mendekatkan diri pada cahaya Tuhan. Mari manfaatkan hari suci ini untuk berdiam dalam keheningan, memohon pengampunan, dan memperkuat keyakinan kita kepada Sang Hyang Widhi.













Tri Parartha: Tiga Perilaku Menuju Kemuliaan

On 5:00 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam ajaran agama Hindu, khususnya yang berkembang dalam tradisi Hindu Bali, dikenal konsep Tri Parartha, yaitu tiga perilaku utama yang menjadi dasar untuk mencapai kehidupan yang mulia dan harmonis. Tri Parartha berasal dari dua kata: Tri berarti tiga dan Parartha berarti tujuan mulia. Ketiga perilaku ini mengajarkan umat Hindu untuk hidup secara seimbang, harmonis, dan penuh tanggung jawab terhadap sesama, lingkungan, dan Tuhan.

Tri Parartha

Makna dan Unsur Tri Parartha

Tri Parartha terdiri atas tiga komponen utama:

1. Parahita

Parahita berarti berbuat baik demi kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain. Dalam praktiknya, Parahita mengajarkan:

  • Tolong-menolong tanpa pamrih
  • Menjaga kerukunan sosial
  • Menyebarkan kebaikan melalui tindakan nyata

Parahita mencerminkan semangat kepedulian sosial yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa diwujudkan melalui kegiatan sosial, gotong royong, dan berbagi kepada yang membutuhkan.

2. Parasukha

Parasukha berarti turut merasakan kebahagiaan atas kebahagiaan orang lain. Prinsip ini mengajarkan untuk tidak iri atau dengki terhadap keberhasilan sesama. Sebaliknya, seseorang diajak untuk:

  • Bersyukur atas rejeki yang dimiliki
  • Ikhlas melihat orang lain bahagia
  • Menjaga hati dari rasa cemburu dan amarah

Parasukha adalah bentuk empati tingkat tinggi yang mendorong terbentuknya masyarakat yang saling mendukung.

3. Paramartha

Paramartha berarti mencapai kebenaran dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Ini adalah puncak dari Tri Parartha yang menekankan pada:

  • Pencarian makna hidup sejati
  • Hidup sesuai dengan ajaran dharma (kebenaran dan kewajiban moral)
  • Pengendalian diri dan kesucian batin

Paramartha menjadi tujuan spiritual utama yang mengarahkan manusia pada moksha (pembebasan) dan kesempurnaan hidup.

Relevansi Tri Parartha dalam Kehidupan Modern

Tri Parartha bukan sekadar konsep kuno, tetapi sangat relevan dalam dunia modern yang penuh tantangan moral dan sosial. Nilai-nilai ini membentuk fondasi untuk:

  • Membangun keluarga yang harmonis
  • Menciptakan lingkungan kerja yang saling mendukung
  • Menjadi warga negara yang peduli terhadap sesama

Dengan menerapkan Tri Parartha, manusia tidak hanya membangun hubungan baik dengan sesama, tetapi juga dengan alam dan Sang Hyang Widhi Wasa.

Kesimpulan

Tri Parartha adalah ajaran luhur dalam agama Hindu yang menuntun manusia menuju kemuliaan hidup. Melalui praktik Parahita (berbuat baik), Parasukha (ikut bahagia), dan Paramartha (mencapai kebenaran), umat Hindu diajak untuk hidup secara utuh dan seimbang. Dengan menjadikan Tri Parartha sebagai pedoman, seseorang dapat membangun kehidupan yang bermakna, harmonis, dan mulia baik secara duniawi maupun spiritual.


Sentana Ketundung Menurut Hindu Bali

On 11:00 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam sistem kekerabatan Hindu Bali, dikenal istilah sentana ketundung, yang merujuk pada kondisi di mana suatu garis keturunan dinyatakan terputus atau tidak memiliki penerus laki-laki (purusa) secara adat. Hal ini menjadi isu penting dalam kehidupan keluarga dan komunitas adat Bali, mengingat keberlanjutan tradisi dan pelaksanaan upacara keagamaan sangat tergantung pada keberadaan sentana purusa. Artikel ini membahas pengertian, penyebab, konsekuensi, serta solusi atas kondisi sentana ketundung menurut pandangan Hindu Bali.

"Sentana" dalam bahasa Bali merujuk pada keturunan atau ahli waris. Sementara itu, "ketundung" berarti terputus atau tersingkir. Maka, sentana ketundung berarti garis keturunan yang tidak lagi memiliki penerus laki-laki, sehingga dianggap terputus secara adat dan spiritual.

Dalam sistem patrilineal Bali, keturunan laki-laki (purusa) bertugas melanjutkan tanggung jawab terhadap leluhur di sanggah (pura keluarga) serta menjaga warisan budaya dan spiritual. Bila tidak ada anak laki-laki, maka secara adat, keluarga tersebut dianggap kehilangan jalur purusa dan menjadi ketundung.

Sentana Ketundung

Penyebab Sentana Ketundung

  1. Tidak Memiliki Anak Laki-Laki: Keluarga yang hanya memiliki anak perempuan akan mengalami risiko ketundung karena anak perempuan secara adat mengikuti keluarga suaminya.
  2. Tidak Menikah atau Tidak Memiliki Keturunan: Anak laki-laki yang tidak menikah atau tidak memiliki keturunan dapat menyebabkan berakhirnya garis purusa.
  3. Perkawinan Nyentana: Jika satu-satunya anak laki-laki menikah secara nyentana (masuk ke keluarga istri), maka ia tidak lagi menjadi purusa bagi keluarganya sendiri.

Konsekuensi dalam Kehidupan Adat dan Agama

  1. Ritual Leluhur Terbengkalai: Tidak adanya purusa menyebabkan sanggah (pura keluarga) tidak lagi digunakan untuk upacara leluhur.
  2. Kehilangan Hak Waris Adat: Dalam beberapa desa adat, keluarga ketundung bisa kehilangan hak atas tanah warisan, yang kembali ke desa atau puri.
  3. Pudarnya Identitas Sosial: Tanpa penerus laki-laki, nama soroh atau klan keluarga tidak lagi diteruskan.

Solusi dan Adaptasi Tradisi

1. Mengangkat Sentana Rajeg

Keluarga dapat mengangkat anak perempuan sebagai Sentana Rajeg, yang berarti ia mengambil peran sebagai purusa. Dengan demikian, keturunan yang lahir dari perempuan tersebut tetap dianggap sebagai penerus keluarga.

2. Perkawinan Nyentana (Nyeburin)

Laki-laki yang menikah dengan anak perempuan satu-satunya dapat dimasukkan ke dalam keluarga istri sebagai Predana, dan anak-anaknya menjadi bagian dari klan keluarga perempuan. Ini menyelamatkan garis keturunan dari ketundung.

3. Adopsi Adat (Ngusaba Sentana)

Beberapa keluarga mengangkat anak dari kerabat dekat sebagai ahli waris adat untuk menjalankan tugas keagamaan dan meneruskan garis keturunan.

Pandangan Hindu Bali

Dalam Hindu Bali, menjaga kelangsungan dharma keluarga dan pemujaan leluhur (pitra puja) adalah kewajiban utama. Maka, status ketundung bukan sekadar kehilangan keturunan biologis, tapi juga kehilangan kewajiban spiritual. Oleh karena itu, berbagai solusi tersebut merupakan bentuk adaptasi yang tidak menyimpang dari prinsip dharma, tetapi justru memperkuatnya dalam konteks zaman.

Kesimpulan

Sentana ketundung adalah kondisi serius dalam masyarakat adat Bali, yang berkaitan erat dengan keberlanjutan tanggung jawab spiritual dan adat. Namun, tradisi Hindu Bali menyediakan berbagai solusi fleksibel seperti nyentana, sentana rajeg, dan adopsi adat, untuk menjaga agar garis keturunan dan kewajiban leluhur tetap berlanjut. Hal ini menunjukkan kekayaan serta kelenturan budaya Hindu Bali dalam merespon dinamika kehidupan modern tanpa meninggalkan akar ajaran dharma.


Sejarah Perkawinan Nyentana Dalam Tradisi Hindu Bali

On 11:00 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Perkawinan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan umat Hindu Bali. Di samping menjadi perwujudan hubungan cinta kasih antara dua insan, perkawinan juga menjadi sarana pelestarian garis keturunan dan pewarisan budaya. Salah satu bentuk unik dari sistem perkawinan di Bali adalah perkawinan nyentana, yang berbeda dari sistem patrilineal yang umum.

Nyentana (atau disebut juga nyeburin) adalah bentuk perkawinan di mana seorang laki-laki menikah masuk ke keluarga pihak perempuan. Dalam sistem ini, suami pindah ke rumah istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan mengikuti garis keturunan ibu, bukan ayah. Hal ini kebalikan dari sistem purusa (patrilineal) yang lebih umum di Bali, di mana perempuan masuk ke keluarga laki-laki.

Sejarah Nyentane/Nyeburin


Sejarah dan Latar Belakang

Tradisi nyentana telah ada sejak lama dalam masyarakat Bali dan umumnya dilaksanakan dalam kondisi tertentu, antara lain:

  1. Keluarga tidak memiliki anak laki-laki: Agar garis keturunan tetap berlanjut dan merawat leluhur keluarga, maka anak perempuan di-sentana-kan.
  2. Keinginan menjaga warisan atau aset keluarga: Terutama jika anak perempuan satu-satunya, maka ia diberi hak untuk tetap tinggal di rumah asalnya.
  3. Pilihan berdasarkan kesepakatan keluarga dan pasangan: Dalam beberapa kasus, perkawinan nyentana dilakukan atas dasar kemauan bersama dan untuk menjaga keseimbangan sosial dalam keluarga.

Prosesi dan Upacara

Prosesi perkawinan nyentana tidak jauh berbeda dengan perkawinan biasa, tetapi ada penyesuaian adat dan upacara, seperti:
  • Upacara pengakuan oleh keluarga perempuan terhadap suami sebagai bagian dari keluarga.
  • Surya sewana atau pembersihan secara rohani untuk menyucikan suami sebelum masuk ke dalam struktur keluarga istri.
  • Pengesahan secara adat dan agama Hindu, termasuk dalam sistem pewarisan dan tanggung jawab leluhur.

Konsekuensi Hukum Adat dan Sosial

Dalam adat Bali, laki-laki yang nyentana secara otomatis melepaskan status purusa-nya dan menerima status sebagai pradana. Ia tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap leluhur asalnya dan beralih menjalankan dharma terhadap leluhur istri.

Konsekuensinya:
  • Anak-anak mengikuti soroh atau klan dari pihak ibu.
  • Warisan dan tanggung jawab keluarga berpindah ke pihak perempuan.
  • Dalam beberapa desa adat, nyentana bisa memengaruhi status sosial dan hak-hak tertentu.

Perubahan Zaman dan Pandangan Modern

Seiring dengan perkembangan zaman, perkawinan nyentana kini tidak lagi dipandang sebagai hal tabu atau inferior. Banyak keluarga Bali modern yang melihat sistem ini sebagai bentuk kompromi, pemerataan hak waris, serta kesetaraan gender. Bahkan dalam banyak keluarga urban, pilihan nyentana menjadi solusi atas masalah tempat tinggal, perawatan orang tua, dan pelestarian budaya lokal.

Kesimpulan

Perkawinan nyentana adalah cerminan fleksibilitas dan dinamika budaya Hindu Bali dalam merespons kebutuhan zaman tanpa meninggalkan akar tradisi. Sistem ini mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan, pengabdian, dan penghormatan terhadap leluhur. Dengan pemahaman yang baik, nyentana bukan hanya bentuk perkawinan alternatif, tetapi juga strategi pelestarian budaya Bali yang adaptif dan relevan hingga kini.
Sejarah Tajen : Makna Spritual dan Hiburan

On 11:00 AM with No comments

Berita Hindu IndonesiaTajen Bali berasal dari zaman kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Bali. Aktivitas ini dilakukan sebagai sarana hiburan dan persembahan kepada dewa-dewa. Sabung ayam tajen memiliki nilai lebih dari sekadar hiburan, karena melibatkan ritual dan tradisi yang kuat. 

Tajen adalah tradisi adu ayam yang telah menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat Bali selama berabad-abad. Tajen bukan sekadar hiburan atau perjudian, melainkan memiliki akar yang dalam dalam praktik keagamaan dan adat istiadat Hindu Bali.

Sejarah Tajen

 Asal-Usul dan Makna Spiritual

1. Asal Kata
  • Tajen berasal dari kata "tajuk" atau "tajeng", yang berarti pertarungan ayam jantan. 
  • Di Bali, istilah ini telah identik dengan ritual dan kadang disalahartikan sebagai kegiatan perjudian semata.
2. Tajen dalam Konteks Agama

  • Dalam upacara tabuh rah (yang berarti "meneteskan darah"), tajen dilakukan sebagai bagian dari ritual penyucian dan penolak bala.
  • Darah ayam dianggap sebagai persembahan kepada bhuta kala (energi negatif atau kekuatan gaib) untuk menyeimbangkan kekuatan alam (Rwa Bhineda).
  • Praktik ini terutama dilakukan dalam upacara besar seperti Pecaruan, Bhuta Yajña, atau Panca Wali Krama.

Tajen Sakral vs Tajen Hiburan

  • Tajen Sakral (Religius)
    • Dilakukan secara terbatas dan khusus dalam konteks upacara adat/agama.
    • Dipimpin oleh sulinggih atau pemangku.
    • Tidak ada unsur taruhan.

  • Tajen Hiburan (Tajen Bebotoh)
    • Lebih kepada ajang pertaruhan (judi), biasanya dilakukan di arena atau kalangan.
    • Sering kali tidak berkaitan dengan upacara, dan dilarang oleh hukum negara Indonesia karena unsur perjudian.
    • Walaupun begitu, masih berlangsung secara sembunyi-sembunyi di beberapa tempat.

Regulasi dan Kontroversi

  • Pemerintah Bali dan Kepolisian telah lama melarang tajen bebotoh yang bersifat perjudian.
  • Namun, tajen sakral tetap diizinkan sebagai bagian dari ritual keagamaan yang sah.
  • Hal ini sering menimbulkan perdebatan antara pelestarian budaya dan penegakan hukum.

Catatan Filosofis

  • Tajen dalam konteks sakral merepresentasikan pengorbanan dan penebusan dalam sistem kosmologi Hindu Bali.
  • Darah ayam dianggap sebagai simbol pengorbanan hidup untuk memulihkan keseimbangan antara manusia, alam, dan roh leluhur (Tri Hita Karana).

Penutup

Tajen adalah contoh bagaimana unsur spiritual, budaya, dan sosial dapat berbaur dalam satu praktik masyarakat. Walau kini identik dengan judi, memahami tajen dari sisi sejarah dan filosofi keagamaannya menunjukkan betapa kompleks dan sakralnya budaya Bali.

Makna Sembah Puyung Dalam Filsafat Hindu

On 2:51 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Sembah Puyung adalah istilah lokal (khususnya dikenal dalam tradisi Hindu di Bali dan Lombok) yang merujuk pada sikap sembah (pemujaan) total dan mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Dalam konteks filsafat Hindu, Sembah Puyung mengandung makna teologis dan spiritual yang tinggi yaitu penyatuan penuh antara jiwa (atman) dengan Tuhan (Brahman) melalui sembah yang dilandasi kesadaran, ketulusan, dan kekhusyukan total.

Sembahyang Puyung

Makna Sembah Puyung dalam Filsafat Hindu

1. Sembah sebagai Realisasi Atman kepada Brahman

    Dalam filsafat Advaita Vedanta:

  • Atman (jiwa individu) pada hakikatnya adalah Brahman (Tuhan semesta). 

  • Sembah Puyung adalah proses spiritual di mana seseorang menyadari jati dirinya sebagai bagian dari Tuhan, bukan sekadar menyembah secara formal.

2. Sembah sebagai Jalan Bhakti (Pengabdian)

  • Sembah Puyung mengandung unsur bhakti yoga pengabdian murni, tanpa pamrih. 

  • Dalam Bhagavad Gita, Krishna mengatakan:

“Dengan bhakti yang tulus, seseorang akan datang kepada-Ku.”

(BG 9.22) 

3. Sembah sebagai Kontemplasi Diri

  • Lebih dari gerakan tangan dan tubuh, Sembah Puyung adalah meditasi pengosongan ego, pengendalian pikiran, dan perenungan akan kehadiran Tuhan dalam diri. 

  • Ini sejalan dengan ajaran Yoga:

“Yogash chitta vritti nirodhah” – Yoga adalah pengendalian gejolak pikiran.

(Yoga Sutra 1.2) 

Ciri-Ciri Sembah Puyung

  1. Kesadaran    :  Dilakukan dengan penuh kesadaran akan kehadiran Tuhan
  2. Ketulusan    : Tidak bersifat pamer, bebas dari tujuan duniawi
  3. Kesatuan     : Jiwa merasa menyatu dengan semesta dan Tuhan
  4. Ketenangan : Timbul rasa damai, tunduk total pada kehendak ilahi 

Bentuk Praktik Sembah Puyung

  1. Sembah dengan Mantra: Seperti Gayatri Mantra, Omkara, Tri Sandhya.
  2. Sembah saat meditasi: Duduk bersila, dengan tangan menghormat, batin menyatu dengan Tuhan.
  3. Sembah dalam Puja: Saat mempersembahkan bunga, dupa, air sembah dilakukan penuh rasa bakti.
  4. Sembah tanpa bentuk: Ketika seseorang larut dalam pujian, cinta, dan kesadaran akan Tuhan, bahkan tanpa kata.

Filosofi Sembah Puyung di Tingkat Tertinggi

Sembah Puyung adalah jalan menuju Moksha:
  • Dengan sembah yang tulus dan murni, ego luluh, dan jiwa menyatu dengan Brahman.
  • Inilah tujuan akhir dalam filsafat Hindu: melepaskan keterikatan duniawi dan kembali ke asal (Tuhan).

Kesimpulan

Sembah Puyung bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi perwujudan tertinggi dari cinta, pengabdian, dan kesadaran spiritual dalam ajaran Hindu. Dalam filsafat Hindu, ia adalah jembatan antara manusia dan Tuhan, antara atman dan Brahman, antara dunia dan keabadian.