Berita Hindu Indonesia

Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Deskripsi-Gambar

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.
Sering Ucapkan “Astungkare”, Tapi Tahu Artinya?

On 5:30 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu Bali, kata “Astungkare” sering diucapkan, baik saat berbicara, menanggapi harapan, maupun ketika mengakhiri doa. Namun, tidak semua orang benar-benar memahami makna dan kedalaman filosofis di balik kata sederhana ini.

Makna Kata “Astungkare”

Secara etimologis, kata “Astungkare” berasal dari bahasa Sanskerta:

  • Astu berarti semoga terjadi, atau biarlah demikian.
  • Kāra berarti perbuatan atau tindakan.

Sehingga Astungkare dapat dimaknai sebagai “semoga dikehendaki oleh Tuhan” atau “biarlah hal itu terjadi dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa”.

Makna ini menunjukkan bahwa setiap keinginan, rencana, dan usaha manusia pada akhirnya diserahkan kepada kehendak Tuhan. Dalam ajaran Hindu, ini mencerminkan nilai tattwa pasrah dan sraddha (keyakinan) terhadap kekuatan ilahi yang mengatur alam semesta.

ilustrasi

Makna Filosofis dalam Kehidupan

Umat Hindu meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa izin Tuhan. Mengucapkan “Astungkare” berarti menegaskan kesadaran bahwa manusia hanyalah alat dalam kehendak ilahi.

Kata ini juga menjadi pengingat spiritual agar kita tidak terlalu sombong atas keberhasilan maupun terlalu kecewa atas kegagalan, sebab segalanya terjadi atas restu dan takdir Tuhan.

Contoh dalam percakapan:

“Besok saya ujian, Astungkare lancar.”

“Anaknya mau menikah bulan depan, Astungkare semua berjalan baik.”

Di sini, kata Astungkare berfungsi sebagai doa dan penyerahan diri, bukan sekadar kata pengharapan.

Nilai Spiritualitas

Dalam konteks ajaran Tattwa Hindu, Astungkare mengajarkan keseimbangan antara usaha (karma) dan penyerahan diri (bhakti).

Manusia wajib berusaha sebaik-baiknya, namun hasilnya tetap dikembalikan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kesimpulan

Mengucapkan “Astungkare” bukan hanya tradisi, tetapi juga bentuk kesadaran spiritual bahwa hidup ini tidak sepenuhnya berada di tangan manusia. Kata ini mengajarkan kita untuk tetap rendah hati, percaya pada kehendak Tuhan, dan bersyukur atas setiap hasil yang diberikan.


Sumber:

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Ajaran Tattwa dan Etika Hindu Bali, 2018.

Titib, I Made. Teologi dan Filsafat Hindu, Paramita Surabaya, 2003.

Wiana, I Ketut. Makna Simbol dan Upacara Keagamaan Hindu di Bali, Paramita, 2010.


channel youtube

Bolehkah Permen atau Jajan Ada di Canang yang Sering Kita Lihat?

On 3:05 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pertanyaan ini muncul karena dalam praktik sehari-hari umat Hindu di Bali, sering terlihat permen atau jajan pabrikan diletakkan di atas canang sari sebuah persembahan suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Secara tattwa (filsafat Hindu), canang sari merupakan simbol ketulusan bhakti dan rasa syukur umat kepada Tuhan. Unsur utama dalam canang biasanya terdiri dari bahan alami seperti janur, bunga, daun, dan porosan. Semua itu melambangkan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita Karana).

Ketika ditambahkan permen atau jajan, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah sesuai dengan nilai kesucian banten. Secara prinsip, banten seharusnya berasal dari unsur alami karena memiliki energi murni (sattwika).

Namun, permen atau jajan tidak sepenuhnya dilarang, terutama jika digunakan sebagai banten pelengkap atau dalam konteks sederhana, misalnya untuk anak-anak atau banten harian di rumah.

ilustrasi

Makna Canang dalam Tradisi Hindu Bali

Canang sari adalah salah satu bentuk banten (persembahan suci) yang menjadi simbol rasa bhakti dan terima kasih umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam canang sari, biasanya terdapat unsur utama seperti janur (kelapa muda), bunga, porosan (sirih, kapur, pinang), dan sampian.

Setiap unsur memiliki makna filosofis yang dalam, seperti:

  • Bunga putih melambangkan Dewa Iswara (Timur)
  • Bunga merah melambangkan Dewa Brahma (Selatan)
  • Bunga kuning melambangkan Dewa Mahadewa (Barat)
  • Bunga biru atau hijau melambangkan Dewa Wisnu (Utara)

Bagaimana dengan Permen atau Jajan di Canang?

Belakangan ini, kita sering melihat permen, biskuit, atau jajan pasar ikut diletakkan di atas canang atau banten. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah hal itu diperbolehkan secara tattwa (filsafat Hindu)?

Menurut beberapa pemangku dan sumber sastra agama Hindu di Bali, banten adalah simbol pengabdian tulus (bhakti marga), bukan tentang mewah atau sederhana, tetapi tentang niat dan kesucian hati.

Namun, secara tattwa (makna spiritual), unsur banten sebaiknya berasal dari alam (seperti bunga, daun, dan buah) karena:

  • Diciptakan langsung oleh Tuhan sebagai wujud panca maha bhuta (lima unsur alam),
  • Memiliki energi murni alami (sattwika).

Sedangkan permen dan jajanan pabrikan termasuk hasil olahan manusia yang sering mengandung unsur kimia atau tidak alami, sehingga kurang sesuai untuk dipersembahkan dalam banten utama seperti canang sari, pejati, atau daksina.

Namun Ada Pengecualian

Permen atau jajan boleh digunakan dalam konteks:

  • Upacara untuk anak-anak, di mana banten dibuat dengan nuansa ringan dan penuh kasih.
  • Persembahan sederhana di rumah, yang dimaksudkan lebih pada ungkap rasa syukur dengan bahan yang ada.
  • Banten tambahan (banten pelengkap), bukan banten utama seperti banten prayascita, suci, atau guru piduka.

Yang paling penting adalah kesucian niat dan kebersihan pikiran saat mempersembahkan, bukan kemewahan bahan.

Kesimpulan

Jadi, permen dan jajan boleh ditempatkan di canang dalam kondisi tertentu, selama tidak menggantikan unsur utama dan tidak mengurangi makna kesucian persembahan itu sendiri. Canang sari tetaplah simbol tulus bakti, bukan simbol kemewahan. Kesucian canang tidak diukur dari bahan, melainkan dari tulusnya hati umat yang mempersembahkan.


Sumber:

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Tuntunan Pembuatan Banten dan Makna Filosofinya, 2021.

I Wayan Sudarsana, Makna Filosofis Banten dalam Upacara Yadnya Umat Hindu Bali, Jurnal Widya Sastra, Vol. 6 No. 2 (2019).

Wawancara Pemangku Pura Desa Adat Tabanan, 2024.


Channel Youtube

Legenda Ratu Niang Sakti: Penjaga Kesucian dan Keseimbangan Alam Bali

On 11:30 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pulau Bali dikenal dengan beragam kisah suci dan legenda spiritual yang memperkaya nilai-nilai budaya serta ajaran agama Hindu. Salah satu kisah yang sarat makna adalah legenda Ratu Niang Sakti, sosok suci yang dipercaya sebagai pelindung dan penjaga keseimbangan alam serta spiritualitas manusia.

Ilustrasi

Asal Usul Ratu Niang Sakti

Legenda Ratu Niang Sakti berasal dari daerah Bali bagian timur, terutama di kawasan Karangasem dan Bangli, yang dikenal memiliki hubungan erat dengan pura-pura tua peninggalan zaman Majapahit. Dikisahkan bahwa beliau adalah seorang wanita suci (tapini) yang memiliki kesaktian luar biasa. Ia hidup dengan penuh tapa brata, menjauh dari hawa nafsu duniawi, dan mengabdikan diri pada pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Karena kesucian dan keteguhannya dalam menjalani kehidupan spiritual, beliau kemudian mencapai tingkat kesempurnaan dan menyatu dengan kekuatan alam. Dari sinilah muncul keyakinan masyarakat bahwa Ratu Niang Sakti adalah manifestasi energi Dewi, pelindung kesucian air dan kesuburan bumi.

Peran Spiritual dalam Kehidupan Masyarakat

Ratu Niang Sakti diyakini hadir untuk menjaga harmoni antara bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (diri manusia). Masyarakat memuja beliau dengan upacara piodalan dan banten suci sebagai ungkapan rasa terima kasih atas perlindungan dari bencana, kekeringan, serta wabah penyakit.

Dalam tradisi Bali, beliau sering disebut sebagai “Ratu Penguasa Tirta”, karena dipercaya menjaga sumber-sumber air suci yang menjadi sumber kehidupan. Tempat-tempat pemujaan kepada beliau biasanya berada di sekitar mata air, danau, atau pura di pegunungan.

Makna Filosofis

Legenda Ratu Niang Sakti mengandung pesan moral yang dalam:

  1. Kesucian hati membawa kesaktian sejati. Kekuatan tidak datang dari kekuasaan, melainkan dari kemurnian jiwa dan ketulusan dalam berbakti.
  2. Alam adalah cerminan spiritual manusia. Menjaga kelestarian alam berarti menjaga keseimbangan diri sendiri.
  3. Perempuan adalah sumber kehidupan. Dalam diri wanita tersimpan kekuatan penciptaan, perlindungan, dan keseimbangan semesta.

Upacara dan Pemujaan

Hingga kini, umat Hindu Bali masih melaksanakan upacara pemujaan Ratu Niang Sakti di beberapa pura seperti:

  1. Pura Beji, tempat memohon kesucian air.
  2. Pura Ulun Danu, sebagai simbol pemujaan kepada kekuatan dewi air.
  3. Pura Dalem dan Pura Penataran Agung, sebagai tempat penyatuan energi purusha-pradhana.

Setiap upacara dilakukan dengan penuh bhakti dan kesadaran bahwa beliau adalah simbol kekuatan ilahi yang menjaga kehidupan di bumi.

Kesimpulan

Legenda Ratu Niang Sakti tidak hanya sekadar kisah mitologis, tetapi juga menjadi panduan spiritual tentang bagaimana manusia seharusnya hidup seimbang dengan alam dan menjaga kesucian batin. Melalui pemujaan dan penghormatan terhadap beliau, masyarakat Bali terus diajak untuk memelihara harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.


Sumber:

Parisada Hindu Dharma Indonesia. “Kisah Dewi dan Dewa dalam Tradisi Bali.” Denpasar, 2020.

I Wayan Mandra, Legenda Bali: Dewi dan Dewa Pelindung Alam. Pustaka Bali, 2019.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Arsip Tradisi dan Kepercayaan Lokal Bali. (2022)


Channel Youtube



Awal Mula Hari Raya Galungan dan Sejarahnya

On 6:30 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Hari Raya Galungan merupakan salah satu hari suci terbesar bagi umat Hindu di Bali. Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali (satu siklus pawukon) sebagai simbol kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Selain sebagai perayaan spiritual, Galungan juga mencerminkan keindahan harmoni kehidupan masyarakat Hindu Bali yang menyatu dengan alam, leluhur, dan Tuhan.

Namun di balik kemeriahan dan makna spiritualnya, Galungan memiliki sejarah panjang dan filosofis yang sangat dalam, yang berakar dari kisah perjuangan melawan kekuatan adharma dalam ajaran Hindu kuno.

Ilustrasi

Asal-usul dan Sejarah Hari Raya Galungan

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno “Galung” yang berarti menang. Dalam konteks religius, Hari Galungan adalah simbol kemenangan kebenaran (dharma) melawan kejahatan (adharma)  sebuah pengingat bagi manusia untuk selalu menegakkan kebenaran dalam hidupnya.

Menurut lontar Sundarigama, perayaan Galungan pertama kali terjadi ketika umat manusia berada dalam masa penuh kekacauan spiritual — manusia lupa pada dharma, banyak melakukan kekerasan, dan hidup tanpa arah. Para dewa kemudian menurunkan Dewa Indra untuk memulihkan keseimbangan alam dengan menumpas kekuatan adharma. Kemenangan Dewa Indra inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Raya Galungan.

Makna Filosofis Hari Galungan

  1. Kemenangan Dharma atas Adharma Galungan bukan sekadar pesta keagamaan, melainkan simbol perjuangan batin setiap individu dalam mengalahkan sifat-sifat negatif seperti amarah, keserakahan, dan kebencian.
  2. Turunnya Leluhur ke Dunia Pada saat Galungan, diyakini roh leluhur (pitara) turun ke dunia untuk menerima persembahan dan berkah dari keturunannya. Karena itu, umat Hindu melakukan persembahyangan di sanggah, merajan, dan pura keluarga untuk menyambut mereka.
  3. Simbol Keseimbangan Hidup Penjor  hiasan bambu yang melengkung di tepi jalan — melambangkan gunung dan kemakmuran, serta menjadi simbol hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.

Rangkaian Hari Raya Galungan

  1. Penyekeban (3 hari sebelum Galungan) – waktu untuk menahan diri dari nafsu keduniawian.
  2. Penyajahan (2 hari sebelum) – memusatkan pikiran pada kebersihan lahir dan batin.
  3. Penampahan (1 hari sebelum) – simbol perjuangan terakhir melawan sifat negatif dalam diri.
  4. Hari Galungan – puncak upacara pemujaan dan rasa syukur atas kemenangan dharma.
  5. Umanis Galungan – hari kebersamaan dan berbagi kebahagiaan dengan keluarga.

Setelah sepuluh hari, umat Hindu merayakan Hari Kuningan, sebagai tanda kembalinya roh leluhur ke alam niskala setelah menerima doa dan persembahan dari keluarga di dunia.

Sejarah Galungan di Bali

Catatan tertua tentang perayaan Galungan di Bali ditemukan dalam Prasasti Blanjong (tahun 882 Masehi) pada masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa. Tradisi ini kemudian terus dilestarikan dan menjadi bagian dari sistem kalender pawukon Bali. Hingga kini, Galungan tetap dirayakan secara meriah di seluruh Bali dan di pura-pura Hindu di luar Bali, termasuk di Nusantara dan mancanegara.

Kesimpulan

Hari Raya Galungan bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga perjalanan spiritual untuk kembali ke jalan kebenaran, menjaga keseimbangan antara dunia sekala dan niskala, serta mempererat hubungan manusia dengan leluhur dan alam.

Melalui Galungan, umat Hindu diajak untuk selalu menumbuhkan kesadaran bahwa kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, tetapi kemenangan atas diri sendiri.


Sumber:

Lontar Sundarigama, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2019.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Pedoman Hari Raya Galungan dan Kuningan, 2020.

I Gusti Ngurah Bagus, Makna Filosofis Galungan dan Kuningan dalam Tradisi Bali, Udayana Press, 2018.

Prasasti Blanjong, Denpasar, abad IX Masehi.

Makna dan Alasan Umat Hindu Mengadakan Persembahyangan Saat Bulan Purnama

On 11:30 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam ajaran Hindu, Purnama atau bulan purnama memiliki kedudukan istimewa sebagai waktu turunnya sinar suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Dewa Chandra. Bulan penuh dianggap sebagai simbol kesempurnaan, penerangan batin, serta waktu terbaik untuk melakukan penyucian diri dan persembahyangan.

Tradisi persembahyangan pada Hari Purnama telah diwariskan turun-temurun oleh umat Hindu, baik di Bali maupun di seluruh Nusantara, sebagai bagian dari pengamalan ajaran Tattwa, Susila, dan Upacara.

ilustrasi

Makna Spiritual Bulan Purnama

  • Simbol Kesempurnaan dan Keseimbangan Alam Bulan purnama melambangkan titik keseimbangan antara gelap dan terang, antara aspek material dan spiritual. Cahaya bulan yang sempurna menandakan pencerahan rohani yang menghapus kegelapan batin.

  • Energi Kosmis dan Pembersihan Batin Pada malam purnama, energi alam diyakini berada dalam kondisi harmonis dan kuat. Melalui persembahyangan, umat Hindu menyelaraskan vibrasi dirinya dengan energi suci tersebut untuk memperkuat spiritualitas, ketenangan pikiran, dan kesehatan jiwa.
  • Waktu Turunnya Anugerah dan Pemberkatan Banyak lontar seperti Lontar Sundarigama dan Lontar Dharma Kahuripan menjelaskan bahwa malam Purnama adalah waktu Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan anugerah kepada seluruh makhluk. Karena itu, umat Hindu melakukan pemujaan dan persembahan bunga, dupa, dan canang sari sebagai wujud rasa syukur.

Alasan Umat Hindu Melaksanakan Persembahyangan di Hari Purnama

  1. Menjaga Hubungan Harmonis dengan Alam (Tri Hita Karana)
    Melalui persembahyangan, umat Hindu memperkuat hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Purnama menjadi momentum untuk mengembalikan keseimbangan spiritual antara ketiganya.

  2. Waktu Ideal untuk Melakukan Dewa Yadnya
    Hari Purnama dianggap paling baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya, seperti persembahyangan di pura, pembersihan diri dengan air suci, atau melaksanakan upacara pembersihan benda-benda sakral.

  3. Refleksi dan Penyucian Diri
    Umat Hindu juga memanfaatkan waktu Purnama untuk introspeksi diri, mengurangi sifat-sifat negatif (asuri sampat), dan menumbuhkan sifat-sifat kebajikan (daivi sampat).

Makna Purnama dalam Kehidupan Modern

Dalam kehidupan modern, Hari Purnama dapat dimaknai sebagai waktu membangun kesadaran ekologis dan spiritual, di mana manusia berhenti sejenak dari rutinitas duniawi dan menyatu dengan energi alam semesta. Persembahyangan bukan hanya ritual, tetapi juga meditasi untuk keseimbangan batin dan harmoni sosial.


Sumber:

Lontar Sundarigama (terbitan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2019)

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Pedoman Hari Suci Purnama dan Tilem. 2020.

I Wayan Sujana. Makna Energi Purnama dalam Spiritualitas Hindu. Denpasar: Udayana Press, 2021.


Youtube Channel

Tradisi Omed-omedan: Ritual Penolak Bala dari Pulau Seribu Pura

On 11:30 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Pulau Bali dikenal sebagai Pulau Seribu Pura, tempat di mana tradisi, budaya, dan spiritualitas menyatu dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu tradisi unik yang menjadi sorotan dunia adalah Tradisi Omed-omedan, sebuah ritual sakral dan penuh kegembiraan yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan.

Walaupun terlihat seperti “tarik-menarik” antar pemuda dan pemudi, sesungguhnya Omed-omedan adalah ritual tolak bala yang telah diwariskan secara turun-temurun selama ratusan tahun.



Asal-usul Tradisi Omed-omedan

Menurut penuturan masyarakat setempat, tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Raja Puri Oka. Dahulu, para pemuda dan pemudi berkumpul untuk melakukan tarian rakyat setelah Hari Nyepi. Dalam satu peristiwa, dua kelompok pemuda dan pemudi saling dorong hingga terjadi keributan. Anehnya, saat itu raja yang sedang sakit tiba-tiba sembuh setelah menyaksikan kejadian tersebut.

Sejak saat itulah, tradisi tersebut ditetapkan sebagai ritual tolak bala yang wajib dilakukan setiap sehari setelah Hari Nyepi (ngembak geni), dengan keyakinan bahwa bila tradisi ini tidak dilaksanakan, akan terjadi musibah di desa.

Makna Spiritual Omed-omedan

Secara harfiah, Omed-omedan berarti tarik-menarik. Namun maknanya jauh lebih dalam.

Ritual ini melambangkan penyatuan energi purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan) sebagai simbol keseimbangan alam semesta. Tradisi ini juga menjadi media untuk menyucikan energi desa dari pengaruh negatif setelah masa penyepian.

Selain itu, Omed-omedan menjadi ajang mempererat rasa persaudaraan dan kebersamaan antar warga, terutama kalangan muda. Walaupun diwarnai canda tawa, pelaksanaannya tetap disertai doa dan upacara keagamaan oleh para pemangku pura.

Proses Pelaksanaan

  1. Upacara Pembersihan (Pecaruan) dilakukan terlebih dahulu untuk menyucikan lokasi dan para peserta.
  2. Dua barisan pemuda dan pemudi berhadapan, lalu saling tarik-menarik diiringi teriakan dan sorak sorai warga.
  3. Ketika dua peserta saling berdekatan, mereka boleh saling berpelukan atau bersentuhan pipi  melambangkan keharmonisan dan kasih sayang universal.
  4. Para pecalang mengatur agar suasana tetap tertib dan sakral.

Ritual ini tidak dimaksudkan sebagai hiburan, melainkan penggambaran energi kehidupan yang saling melengkapi.

Omed-omedan di Mata Dunia

Tradisi ini menarik perhatian wisatawan mancanegara karena unik dan penuh makna simbolik. Banyak media internasional menulis tentang “The Kissing Ritual of Bali”, namun sesungguhnya Omed-omedan bukan tentang ciuman, melainkan tentang harmoni, keseimbangan, dan tolak bala nilai-nilai yang sangat luhur dalam kepercayaan Hindu Bali.

Kesimpulan

Tradisi Omed-omedan bukan sekadar atraksi budaya, tetapi ritual sakral yang menjaga keseimbangan energi di alam dan masyarakat. Tradisi ini menjadi bukti bahwa di Bali, setiap perayaan, bahkan yang tampak sederhana, memiliki makna spiritual mendalam yang menghubungkan manusia dengan alam dan Sang Hyang Widhi.

Sumber:

Parisada Hindu Dharma Indonesia. Lontar Dresta Bali Kuna tentang Tradisi Rakyat Bali, 2021.

Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Profil Tradisi Omed-omedan Banjar Kaja Sesetan, 2023.

Wawancara Pemangku Banjar Kaja Sesetan, 2024.

Bali Post, Omed-omedan: Ritual Sakral Tolak Bala di Tengah Denpasar, 2022.


Youtube channel



Makna Segehan dan Caru sebagai Energi Penyeimbang

On 2:23 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam ajaran Hindu Bali, keseimbangan antara kekuatan dharma (kebaikan) dan adharma (kekacauan) merupakan dasar terciptanya keharmonisan alam. Upacara segehan dan caru merupakan wujud nyata dari filosofi tersebut  yakni memberikan persembahan untuk menjaga keseimbangan energi di alam semesta (bhuana agung) dan di dalam diri manusia (bhuana alit).

Ilustrasi

Makna Segehan

Segehan berasal dari kata “segeh” yang berarti memberi atau mempersembahkan. Dalam praktiknya, segehan berupa nasi berwarna, bunga, dan sesari yang ditempatkan di atas daun atau wadah sederhana, lalu dihaturkan di tempat-tempat tertentu seperti halaman rumah, perempatan jalan, atau pelinggih.

Tujuan utama dari segehan adalah menetralisir kekuatan bhuta kala  energi kasar atau tidak selaras yang ada di sekitar manusia. Dengan segehan, umat Hindu berusaha mengembalikan keseimbangan antara unsur positif dan negatif, sehingga tercipta kedamaian dan ketenangan batin.

Jenis-jenis segehan pun beragam, antara lain:

  • Segehan manca warna: lima warna nasi melambangkan panca maha bhuta (unsur alam).
  • Segehan putih: simbol kesucian dan penyucian diri.
  • Segehan merah: melambangkan semangat hidup dan pengendalian hawa nafsu.
  • Segehan putih kuning: simbol pemujaan kepada Dewa Siwa dan Dewa Wisnu.

Makna Caru

Sementara itu, Caru adalah upacara penyucian dan penyelarasan energi besar yang dilakukan di tingkat rumah tangga, desa, atau pura. Kata “Caru” berarti indah atau harmonis, dan fungsinya adalah mengharmoniskan hubungan antara manusia, alam, dan para dewa (Tri Hita Karana).

Upacara Caru sering disebut juga Tawur, yang berarti persembahan kepada alam semesta. Dalam pelaksanaannya, digunakan simbol-simbol seperti:
  • Hewan kurban (dulu ayam atau bebek, kini diganti dengan simbol sayur/buah).
  • Nasi manca warna melambangkan panca dewata.
  • Dupa dan api sebagai media penghubung antara manusia dan energi gaib.
Caru dilaksanakan dalam berbagai tingkatan  dari Caru Eka Sata (rumah tangga) hingga Caru Tawur Agung (tingkat jagat raya), seperti yang dilakukan menjelang Hari Nyepi.

Filosofi Energi Penyeimbang

Segehan dan Caru memiliki makna mendalam sebagai energi penyeimbang (Rwa Bhineda) — prinsip bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki pasangan: baik dan buruk, terang dan gelap, atas dan bawah.
Dengan melaksanakan segehan dan caru, umat Hindu:
  • Mengakui keberadaan kekuatan bhuta kala tanpa menentangnya.
  • Menyatukan diri dalam harmoni antara bhuana alit dan bhuana agung.
  • Menyucikan lingkungan dan batin agar tercipta kedamaian sejati.

Kesimpulan

Melalui Segehan dan Caru, umat Hindu Bali diajarkan untuk selalu hidup selaras dengan alam. Bukan dengan melawan energi negatif, melainkan menyelaraskannya melalui kesadaran, rasa hormat, dan persembahan. Upacara ini menjadi pengingat bahwa manusia adalah bagian dari jagat raya yang harus senantiasa dijaga keseimbangannya.

Sumber:
Lontar Sundarigama dan Bhuana Kosa (Parisada Hindu Dharma Indonesia, 2021).
Makna Segehan dan Caru dalam Upacara Dewa Yadnya, oleh I Made Titib, Pustaka Larasan, 2019.
Wawancara Pemangku Pura Desa Adat Gianyar, 2023.

Youtube channel 


Waspada Hari Berek Tawukan! Saat Purnama Justru Tak Boleh Melakukan Pemujaan

On 11:30 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Hari Berek Tawukan adalah salah satu hari khusus dalam kalender Bali (penanggalan Wuku) yang memiliki makna spiritual mendalam. Kata “Berek” berarti benturan atau tabrakan, sedangkan “Tawukan” berasal dari kata tawuk, yang berarti saling bertemu atau berbenturan. Secara filosofis, Hari Berek Tawukan menggambarkan terjadinya benturan energi antara kekuatan baik (dharma) dan kekuatan buruk (adharma) di alam semesta.

Ketika Hari Berek Tawukan bertepatan dengan Purnama (bulan purnama), umat Hindu di Bali justru dianjurkan untuk tidak melakukan upacara besar atau pemujaan di pura, karena diyakini energi alam semesta sedang tidak harmonis. Biasanya, Purnama adalah waktu suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, namun jika bersamaan dengan Berek Tawukan, energi negatif juga sedang kuat, sehingga upacara bisa menjadi tidak suci secara kosmis.

Makna Hari Berek Tawukan
Dalam penanggalan tradisional Bali, terdapat hari-hari tertentu yang dianggap memiliki kekuatan energi unik  salah satunya adalah Hari Berek Tawukan. Hari ini dipercaya sebagai hari ketika kekuatan bhuana agung (alam semesta) sedang mengalami guncangan atau ketidakseimbangan. Kata “Tawukan” berasal dari kata “tawuk” yang berarti benturan, menggambarkan terjadinya benturan energi antara kekuatan positif dan negatif di alam semesta.

Meskipun biasanya Hari Purnama menjadi saat yang sangat suci untuk melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, namun apabila bertepatan dengan Hari Berek Tawukan, umat Hindu justru dianjurkan untuk tidak melakukan kegiatan keagamaan besar di pura atau tempat suci. Hal ini karena diyakini energi alam pada saat itu sedang tidak harmonis, sehingga kegiatan spiritual besar bisa kurang memberikan hasil yang baik.

Ilustrasi

Latar Spiritual dan Filosofis

Secara spiritual, Hari Berek Tawukan merupakan simbol dari peringatan agar umat manusia senantiasa menjaga keseimbangan diri. Ketika alam sedang “tidak seimbang”, umat diminta untuk berdiam diri, melakukan introspeksi, serta menahan diri dari kegiatan seremonial besar.

Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan bahwa ketika dewata dan bhuta kala sedang “bertabrakan” atau saling berebut kekuasaan atas ruang waktu, manusia disarankan untuk melakukan penyucian diri dalam bentuk brata (pengendalian diri) dan tapa (meditasi ringan), bukan dengan upacara besar. Dengan begitu, manusia tidak ikut “terbentur” oleh energi tersebut.

Apa yang Sebaiknya Dilakukan


Pada Hari Berek Tawukan yang jatuh bertepatan dengan Purnama, umat disarankan untuk:
  • Tidak melaksanakan upacara besar di pura.
  • Melakukan doa pribadi di rumah dengan penuh ketenangan dan kesadaran batin.
  • Membersihkan diri dan lingkungan, sebagai simbol menjaga keharmonisan bhuana alit (diri sendiri) dan bhuana agung (alam).
  • Melakukan brata penyepian singkat  mengurangi bicara, makan, dan aktivitas duniawi berlebihan.
Dengan demikian, Hari Berek Tawukan bukanlah hari larangan dalam arti negatif, melainkan momentum spiritual untuk menyelaraskan diri dengan energi alam yang sedang mengalami ketidakseimbangan.

Kesimpulan

Hari Berek Tawukan mengingatkan umat Hindu akan pentingnya kesadaran kosmis — bahwa manusia hidup dalam harmoni dengan alam. Saat energi alam sedang tidak stabil, diam dan mawas diri justru menjadi bentuk pemujaan yang tertinggi.

Sumber:
Lontar Sundarigama, terbitan Parisada Hindu Dharma Indonesia.
PHDI Bali, “Makna Hari Berek Tawukan dan Etika Spiritualnya,” 2023.
Wawancara dengan Pemangku Pura Desa Adat Batur, Bangli, 2024.


Tonton channel Youtube gaess