Berita Hindu Indonesia - Dalam sistem kekerabatan Hindu Bali, dikenal istilah sentana ketundung, yang merujuk pada kondisi di mana suatu garis keturunan dinyatakan terputus atau tidak memiliki penerus laki-laki (purusa) secara adat. Hal ini menjadi isu penting dalam kehidupan keluarga dan komunitas adat Bali, mengingat keberlanjutan tradisi dan pelaksanaan upacara keagamaan sangat tergantung pada keberadaan sentana purusa. Artikel ini membahas pengertian, penyebab, konsekuensi, serta solusi atas kondisi sentana ketundung menurut pandangan Hindu Bali.
"Sentana" dalam bahasa Bali merujuk pada keturunan atau ahli waris. Sementara itu, "ketundung" berarti terputus atau tersingkir. Maka, sentana ketundung berarti garis keturunan yang tidak lagi memiliki penerus laki-laki, sehingga dianggap terputus secara adat dan spiritual.
Dalam sistem patrilineal Bali, keturunan laki-laki (purusa) bertugas melanjutkan tanggung jawab terhadap leluhur di sanggah (pura keluarga) serta menjaga warisan budaya dan spiritual. Bila tidak ada anak laki-laki, maka secara adat, keluarga tersebut dianggap kehilangan jalur purusa dan menjadi ketundung.
![]() |
Sentana Ketundung |
Penyebab Sentana Ketundung
- Tidak Memiliki Anak Laki-Laki: Keluarga yang hanya memiliki anak perempuan akan mengalami risiko ketundung karena anak perempuan secara adat mengikuti keluarga suaminya.
- Tidak Menikah atau Tidak Memiliki Keturunan: Anak laki-laki yang tidak menikah atau tidak memiliki keturunan dapat menyebabkan berakhirnya garis purusa.
- Perkawinan Nyentana: Jika satu-satunya anak laki-laki menikah secara nyentana (masuk ke keluarga istri), maka ia tidak lagi menjadi purusa bagi keluarganya sendiri.
Konsekuensi dalam Kehidupan Adat dan Agama
- Ritual Leluhur Terbengkalai: Tidak adanya purusa menyebabkan sanggah (pura keluarga) tidak lagi digunakan untuk upacara leluhur.
- Kehilangan Hak Waris Adat: Dalam beberapa desa adat, keluarga ketundung bisa kehilangan hak atas tanah warisan, yang kembali ke desa atau puri.
- Pudarnya Identitas Sosial: Tanpa penerus laki-laki, nama soroh atau klan keluarga tidak lagi diteruskan.
Solusi dan Adaptasi Tradisi
1. Mengangkat Sentana Rajeg
Keluarga dapat mengangkat anak perempuan sebagai Sentana Rajeg, yang berarti ia mengambil peran sebagai purusa. Dengan demikian, keturunan yang lahir dari perempuan tersebut tetap dianggap sebagai penerus keluarga.
2. Perkawinan Nyentana (Nyeburin)
Laki-laki yang menikah dengan anak perempuan satu-satunya dapat dimasukkan ke dalam keluarga istri sebagai Predana, dan anak-anaknya menjadi bagian dari klan keluarga perempuan. Ini menyelamatkan garis keturunan dari ketundung.
3. Adopsi Adat (Ngusaba Sentana)
Beberapa keluarga mengangkat anak dari kerabat dekat sebagai ahli waris adat untuk menjalankan tugas keagamaan dan meneruskan garis keturunan.
Pandangan Hindu Bali
Dalam Hindu Bali, menjaga kelangsungan dharma keluarga dan pemujaan leluhur (pitra puja) adalah kewajiban utama. Maka, status ketundung bukan sekadar kehilangan keturunan biologis, tapi juga kehilangan kewajiban spiritual. Oleh karena itu, berbagai solusi tersebut merupakan bentuk adaptasi yang tidak menyimpang dari prinsip dharma, tetapi justru memperkuatnya dalam konteks zaman.
Kesimpulan
Sentana ketundung adalah kondisi serius dalam masyarakat adat Bali, yang berkaitan erat dengan keberlanjutan tanggung jawab spiritual dan adat. Namun, tradisi Hindu Bali menyediakan berbagai solusi fleksibel seperti nyentana, sentana rajeg, dan adopsi adat, untuk menjaga agar garis keturunan dan kewajiban leluhur tetap berlanjut. Hal ini menunjukkan kekayaan serta kelenturan budaya Hindu Bali dalam merespon dinamika kehidupan modern tanpa meninggalkan akar ajaran dharma.