Berita Hindu Indonesia

Berita Hindu Indonesia

Media Informasi Terkini Masyarakat Hindu Indonesia

Deskripsi-Gambar

Iklan Leo Shop

Pasang iklan disini

TWITTER

Powered by Blogger.
Artha Dijalan Dharma Menurut Dasar Kitab Suci Hindu

On 3:01 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Tujuan Hidup dalam Hindu, dikenal dengan Catur Purusha Artha, yaitu: Dharma (kebenaran dan kewajiban), Artha (kekayaan dan kesejahteraan), Kama (kenikmatan dan cinta), serta Moksha (pembebasan rohani). Keempatnya menjadi panduan dalam menjalani kehidupan yang seimbang antara jasmani dan rohani. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai Artha sebagai salah satu aspek penting dalam Catur Purusha Artha.

Artha Dijalan Dharma

Pengertian Artha

Secara harfiah, Artha berarti “kekayaan”, namun dalam konteks filsafat Hindu, Artha memiliki makna yang lebih luas: yaitu segala sesuatu yang diperlukan untuk menopang kehidupan yang layak, termasuk harta benda, jabatan, pendidikan, dan segala bentuk sumber daya yang mendukung tercapainya tujuan hidup. Artha bukan hanya soal materi, tetapi juga mencakup keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan hidup.

Artha adalah landasan material yang penting agar seseorang dapat melaksanakan Dharma dan menikmati Kama dengan bijak, serta pada akhirnya mencapai Moksha. Namun demikian, pencapaian Artha harus senantiasa diarahkan oleh prinsip Dharma.

Cara Mencari Artha yang Sesuai dengan Dharma

Dalam tradisi Hindu, pencarian Artha tidak boleh sembarangan. Tidak semua cara memperoleh kekayaan dibenarkan. Jalan yang benar dalam mencari Artha harus berdasarkan pada Dharma, yakni aturan moral dan etika yang dijunjung tinggi. Berikut adalah beberapa prinsip dalam mencari Artha yang sesuai dengan Dharma:

  1. Jujur dan Bertanggung Jawab
    Usaha untuk memperoleh kekayaan harus dilakukan dengan kejujuran dan kerja keras. Segala bentuk penipuan, korupsi, dan ketidakadilan adalah penyimpangan dari Dharma.

  2. Sesuai dengan Swadharma (Kewajiban Pribadi)
    Setiap individu memiliki tugas dan peran yang berbeda sesuai dengan profesi, bakat, dan kedudukannya dalam masyarakat. Mencari Artha harus disesuaikan dengan Swadharma masing-masing.

  3. Menghindari Keserakahan
    Keinginan untuk memperoleh Artha harus dibatasi agar tidak menimbulkan ketamakan. Tujuan utama bukanlah menumpuk kekayaan, melainkan mencukupi kebutuhan hidup secara layak dan wajar.

  4. Tidak Mengorbankan Dharma dan Kemanusiaan
    Mencari kekayaan tidak boleh sampai menyakiti sesama makhluk hidup, merusak lingkungan, atau merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Menggunakan Artha Secara Bijaksana

Setelah Artha diperoleh dengan cara yang benar, selanjutnya adalah menggunakan dan mengelolanya dengan bijak. Kekayaan yang diperoleh bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga harus menjadi sarana untuk membangun kesejahteraan bersama. Cara menggunakan Artha yang baik antara lain:

  1. Memenuhi Kebutuhan Hidup Secara Wajar
    Artha seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan keamanan keluarga.

  2. Berderma dan Melakukan Dana Punia
    Sebagian Artha hendaknya digunakan untuk membantu sesama, baik melalui kegiatan sosial, keagamaan, maupun kebajikan lainnya. Memberi dengan tulus adalah bentuk nyata dari Dharma.

  3. Berinvestasi pada Hal yang Berguna dan Berkelanjutan
    Gunakan kekayaan untuk mendukung pendidikan, pelestarian budaya, pengembangan usaha yang etis, dan perlindungan lingkungan.

  4. Tidak Menjadi Budak Artha
    Artha harus menjadi alat, bukan tujuan akhir. Orang yang terikat secara berlebihan pada kekayaan akan sulit mencapai Moksha. Karena itu, penting untuk tetap menjaga jarak batin terhadap harta benda.

Dasar Kitab Suci Hindu

  • Manusmriti 4.11:
    "Artha dan Kama hendaknya selalu dijalankan sesuai dengan Dharma."
  • Mahabharata:
    "Dharma adalah akar dari Artha dan Kama. Bila Dharma dilanggar, Artha menjadi sumber penderitaan."
  • Bhagavad Gita 3.19:
    "Dengan menjalankan kewajiban tanpa pamrih, seseorang akan mencapai kesempurnaan."

Kesimpulan

Jadi Artha memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Ia adalah pilar penyangga kehidupan yang memungkinkan seseorang menjalankan Dharma, menikmati Kama secara bertanggung jawab, dan akhirnya mencapai Moksha. Namun kekayaan dan kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai bila pencapaian dan penggunaannya dilandasi oleh nilai-nilai Dharma. Dengan demikian, Artha tidak menjadi sumber penderitaan, tetapi justru menjadi jalan untuk hidup yang bermakna dan seimbang.


Sumber : GS_Suardika

Karma selingkuh Dalam Hindu Bali

On 3:50 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Dalam ajaran agama Hindu, termasuk yang dianut di Bali, perselingkuhan bukan hanya dianggap pelanggaran terhadap pasangan, tetapi juga pelanggaran terhadap dharma (kebenaran, hukum kosmis). Perilaku ini memiliki konsekuensi karma yang serius, baik secara spiritual maupun sosial.

Makna Selingkuh dalam Pandangan Hindu

Dalam Hindu Dharma, kesetiaan (satya) dan pengendalian diri (brahmacarya) adalah nilai utama dalam hubungan suami istri. Ketika seseorang selingkuh, ia melanggar prinsip dharma grihastha (tata laku kehidupan rumah tangga), yang mengatur tanggung jawab moral, etika, dan spiritual seorang individu dalam pernikahan.

Konsep Karma dalam Selingkuh

Karma adalah hukum sebab-akibat. Segala perbuatan baik maupun buruk akan kembali kepada pelakunya, di kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Karma akibat selingkuh antara lain:

  1. Kehilangan keharmonisan rumah tangga
    Selingkuh merusak ikatan suci yang dibangun berdasarkan kepercayaan. Ini menciptakan penderitaan batin, pertengkaran, dan perpecahan.

  2. Mewarisi penderitaan dalam kehidupan berikutnya
    Dalam ajaran Hindu, karma buruk akibat menyakiti pasangan (secara fisik atau batin) bisa terbawa ke kelahiran berikutnya, seperti lahir dalam keadaan tidak bahagia, rumah tangga gagal, atau terus mengalami masalah hubungan.

  3. Menurunnya kualitas spiritual (adharma)
    Orang yang melanggar kesetiaan kehilangan kesucian batin, menjauh dari jalan dharma, dan lebih mudah terjerumus pada keserakahan, nafsu, dan penderitaan mental.

  4. Karma turun ke anak/keturunan (karma wasana)
    Dalam beberapa keyakinan Hindu Bali, penderitaan akibat karma buruk bisa diturunkan ke anak cucu, misalnya dalam bentuk nasib buruk, penyakit turunan, atau masalah sosial.

Penebusan Karma dan Jalan Dharma

Meskipun karma tidak bisa dihapus begitu saja, agama Hindu memberikan jalan untuk membersihkan diri, yaitu:
  • Bertobat dan mengakui kesalahan dengan tulus (prayaschitta)
  • Melakukan karma baik secara terus-menerus (karma yoga)
  • Mengikuti upacara penyucian diri seperti melukat, prayascitta, atau upacara guru piduka jika menyakiti pasangan
  • Mengendalikan hawa nafsu melalui latihan spiritual seperti meditasi, japa mantra, dan belajar sastra suci
  • Memperbaiki hubungan dengan pasangan dan keluarga, karena kehidupan rumah tangga adalah salah satu tahap penting menuju moksha (pembebasan spiritual)

Kesimpulan

Dalam Hindu, selingkuh bukan sekadar kesalahan pribadi, tapi pelanggaran spiritual yang berdampak luas secara karma. Kesetiaan adalah bentuk tertinggi dari dharma dalam rumah tangga. Siapa yang menjaga kesucian hubungan, akan diberkati kebahagiaan dan keharmonisan lahir batin.

Filosofi Ogoh-Ogoh Ratu Mas Mecaling

On 3:16 PM with No comments


Berita Hindu Indonesia - 
Ratu Gede Mas Mecaling adalah sosok mitologi yang sangat terkenal dalam kepercayaan masyarakat Bali, khususnya di kawasan Nusa Penida. Ia dikenal sebagai penguasa alam gaib di Nusa Penida dan dianggap sebagai pemimpin makhluk halus (leak) serta simbol kekuatan besar yang menakutkan dan misterius.

Walaupun sering diasosiasikan dengan kegelapan, Ratu Mas Mecaling juga dipercaya sebagai penjaga keseimbangan alam dan pelindung spiritual jika dihormati dengan benar. Karena itu, ia memiliki peran ganda: bisa menjadi ancaman bagi yang melanggar dharma, tapi juga menjadi pelindung bagi yang taat.

Filosofi dalam Bentuk Ogoh-Ogoh

Dalam perayaan Hari Raya Nyepi, umat Hindu di Bali membuat Ogoh-Ogoh boneka raksasa simbolisasi bhuta kala (unsur-unsur negatif atau kekuatan gelap). Salah satu wujud ogoh-ogoh yang paling ikonik adalah Ogoh-Ogoh Ratu Mas Mecaling. Filosofinya adalah:

  1. Simbol Kekuatan Adharma yang Harus Dinetralisir
    Ogoh-ogoh Ratu Mas Mecaling melambangkan kekuatan adharma (kejahatan, ego, amarah, kebencian) yang hidup di alam dan diri manusia. Dengan membuat wujudnya menjadi besar dan menyeramkan, masyarakat menyadari bahwa kekuatan negatif itu nyata dan bisa menghancurkan jika tidak dikendalikan.

  2. Pengingat Keseimbangan Alam
    Dalam ajaran Hindu Bali, kehidupan harus selalu seimbang antara dharma (kebaikan) dan adharma (kejahatan). Ratu Mas Mecaling tidak hanya dihormati sebagai ancaman, tapi juga sebagai bagian dari tatanan kosmis yang menjaga keseimbangan dunia.

  3. Pemurnian Diri dan Alam Menjelang Nyepi
    Prosesi ogoh-ogoh termasuk Ratu Mas Mecaling dilaksanakan sehari sebelum Nyepi (Tawur Kesanga). Ogoh-ogoh diarak keliling desa dan dibakar di akhir prosesi, sebagai simbol pengusiran unsur jahat dari lingkungan dan pemurnian diri menuju hari penyucian (Nyepi).

  4. Wujud Bhuta yang Bisa Jadi Pelindung
    Menariknya, meskipun berwujud seram, Ratu Mas Mecaling juga diyakini sebagai pelindung jika dihormati dan diberi persembahan secara benar. Ini mencerminkan ajaran Hindu bahwa tidak semua hal gelap harus dimusuhi — yang penting adalah memahami, menghormati, dan menjaga keseimbangan.

Ciri Khas Ogoh-Ogoh Ratu Mas Mecaling

  • Bertubuh besar dan berkulit hitam
  • Memiliki taring panjang dan mata melotot
  • Kadang memegang senjata atau tengkorak
  • Sering digambarkan menguasai makhluk halus atau pasukan leak

Kesimpulan

Ogoh-ogoh Ratu Mas Mecaling bukan sekadar karya seni atau pertunjukan budaya. Ia adalah simbol filosofis tentang pengendalian diri, kesadaran akan kekuatan negatif, dan pentingnya menjaga keseimbangan antara kebaikan dan kejahatan dalam hidup.

Melalui ogoh-ogoh ini, masyarakat Bali diajak untuk tidak hanya melawan kekuatan luar, tetapi juga menaklukkan bhuta kala dalam diri sendiri seperti amarah, kebencian, dan keserakahan.

Apa Itu Potong Gigi Dan Apa Maknanya?

On 2:55 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Potong gigi atau dikenal sebagai Metatah, Mepandes, atau Mapandes, adalah upacara penyucian diri dalam ajaran agama Hindu, khususnya yang berkembang di Bali. Upacara ini merupakan bagian dari Catur Samskara, yaitu empat tahap upacara dalam kehidupan umat Hindu: Garbhadhana (kandungan), Jatakarma (kelahiran), Upanayana (pendidikan/pendewasaan), dan Antyeshti (kematian).

ilustrasi-Potong Gigi

Potong gigi masuk dalam tahapan Upanayana, yakni upacara pendewasaan atau peralihan dari masa remaja menuju dewasa.

Makna dan Tujuan Potong Gigi

Potong gigi memiliki makna simbolik dan spiritual yang sangat dalam. Dalam ajaran Hindu Dharma, manusia diyakini memiliki Sad Ripu, yaitu enam musuh dalam diri yang harus dikendalikan:

  1. Kama – Nafsu keinginan
  2. Krodha – Amarah
  3. Lobha – Keserakahan
  4. Moha – Kebingungan/bodoh rohani
  5. Mada – Kesombongan
  6. Matsarya – Iri hati

Dengan mengikir enam gigi atas (taring dan seri), simbolisnya adalah menumpulkan atau mengendalikan keenam sifat negatif tersebut. Tujuannya adalah:

  • Menyucikan diri secara spiritual
  • Menandai kedewasaan seseorang secara lahir dan batin
  • Mempersiapkan seseorang untuk hidup lebih bertanggung jawab, termasuk kesiapan menikah

Siapa yang Melakukan?

Upacara ini dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan yang telah beranjak remaja, biasanya saat usia belasan tahun atau ketika dianggap sudah cukup umur secara spiritual dan sosial. Namun, bisa juga dilakukan bersamaan dengan upacara pernikahan atau upacara kematian (bagi yang belum sempat metatah saat hidup).

Rangkaian Upacara

Upacara potong gigi dipimpin oleh seorang pendeta (sulinggih) atau pemangku, dengan diawali serangkaian ritual seperti:
  • Pembersihan diri (melukat)
  • Persembahan kepada leluhur dan dewa-dewa
  • Prosesi pengikiran gigi dengan alat khusus
  • Pemberian nasihat dan doa oleh orang tua dan pendeta
Upacara ini juga diiringi oleh upacara adat dan seni Bali seperti gamelan, tari-tarian, serta sajian sesajen yang khas.

Makna Sosial dan Budaya

Selain sebagai kewajiban keagamaan, potong gigi juga menjadi momen penting dalam kehidupan sosial keluarga Bali. Upacara ini mempererat ikatan keluarga, menunjukkan status sosial, serta melestarikan warisan budaya dan spiritual leluhur.

Kesimpulan

Potong gigi dalam ajaran Hindu bukan hanya tradisi turun-temurun, tetapi sebuah upacara sakral yang mengajarkan pengendalian diri, pendewasaan, dan penyucian jiwa. Ia adalah bentuk nyata dari ajaran Hindu tentang keseimbangan antara dharma (kebenaran), artha (kemakmuran), kama (keinginan), dan moksha (pembebasan).



Paguyuban Karangasem Gelar Anniversary ke-13 Purawanti Darma Sentul, Bogor Jawa Barat

On 11:50 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia – Paguyuban Karangasem se-Jakarta, Banten, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Pakar Jabodetabek), menggelar Anniversary ke-13 bertempat di di Purawanti Darma Sentul, Bogor Jawa Barat pada Minggu, 18 Mei 2025.

Dewan Pembina dan Ketua Umum Pakar

Peringatan hari ulang tahun ketujuh Pakar Jabodetabek tersebut, dihadiri sebanyak 520 anggota, ujar Ketua Umum Pakar IBapak Kolonel (Purn) TNI I Made Gaduh  kepada awak media massa di Jakarta.

Pakar adalah organisasi sosial yang memiliki visi dan misi untuk dapat mewujudkan peningkatan pembangunan SDM dan kegiatan sosial keagamaan dengan target sasaran, baik dalam internal anggota Pakar sendiri, maupun masyarakat di Kabupaten Karangasem, Bali. Ini merupakan salah satu wujud membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

seperti disampaikan ketua dewan penasehan pakar I Wayan Warka mengatakan kegiatan tersebut mewujudkan hubungan baik antara Umat Hindu Karangasem yang tinggal di rantaun  dan juga mewujudkan rasa saling kebersamaan dan kehidupan serta ikut andil dalam mendukung pemerintah karangasem.

Foto Bersama

Perayaan HUT Pakar ini dapatijadikan sebagai momentum untuk mempererat dan meningkatkan tali persaudaraan, menjaga persatuan dan kesatuan serta berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara, Adapun saat ini Pakar telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan dan keagamaan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu serta anak-anak sekolah yang berprestasi di Kabupaten Karangasem. Melalui Yayasan Purwa Kerthi, Pakar juga telah melakukan upaya penggalangan, dana baik dari internal anggota Pakar maupun dari kegiatan-kegiatan lainnya yang besifat resmi/sah tanpa mengikat, tutur Wayan.

Senada dengan pergerakan Pakar, maka Dalam Rangka Memperingati Hari Suci Nyepi Saka 1947, dan merayakan HUT Ke-13 Paguyuban Karangasem Sejababodetabek, Semeton Paguyuban Karangasem Jababodetabek bertekad untuk memantapkan soliditas dan kekompakan guna memperkokoh kebersamaan dan kesatuan bangsa’.

Hal tersebut merupakan langkah besar Pakar untuk meningkatkan kebersamaan dan kekompakan, khususnya internal anggota Pakar yang saling asah asih asuh dan mendukung pembangunan Kabupaten Karangasem untuk mewujudkan Karangasem yang cerdas, bersih dan bermartabat berlandaskan Tri Hita Karana dan memperkuat serta memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Acara HUT ke 13 Paguyuban Karangasem tersebut juga dihadiri Bapak Gede Pasek Suardika,.

Dalam perayaan kali ini Pakar juga menyerahkan bantuan beasiswa kepada anak-anak yang berprestasi dan kurang mampu. Ke depannya, HUT ini diharapkan tetap dapat dilaksanakan secara berkesinambungan oleh seluruh warga Karangasem perantauan yang ada di Jababodetabek, dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung perayaan ulang tahun ini, kata Ketua Umum Pakar Bapak Kolonel (Purn) TNI I Made Gaduh 


Pecalang Tetap Menjadi Simbol Harmoni Antara Tradisi Di Tengah Arus Modernitas dan Globalisasi

On 8:42 PM with No comments

Berita Hindu Indonesia Pecalang adalah satu unsur unik dalam sistem keamanan tradisional Bali yang tetap eksis hingga kini. Mereka merupakan petugas keamanan adat yang bertugas menjaga ketertiban dan kelancaran berbagai kegiatan di lingkungan desa adat. Di tengah derasnya arus modernitas dan globalisasi, pecalang tetap menjadi simbol harmoni antara tradisi dan perkembangan zaman.

  

ilustrasi-Pecalangbali 

Di tengah gemerlap pariwisata Bali yang memukau dunia, ada sosok-sosok berseragam kain kotak hitam-putih dengan ikat kepala yang khas. Mereka berdiri tenang namun tegas di perempatan jalan, di pintu masuk pura, atau di tengah keramaian upacara adat. Mereka adalah Pecalang penjaga tradisi yang tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjadi simbol kearifan lokal yang terus hidup di tengah modernitas.

Pecalang bukan aparat negara. Mereka tidak digaji pemerintah, tidak bersenjata, dan tidak mengenakan seragam ala militer. Namun kehadiran mereka begitu dihormati oleh masyarakat Bali. Mereka adalah bagian dari sistem adat yang diwariskan turun-temurun, dibentuk dan disahkan oleh desa adat atau desa pakraman. Mereka bekerja bukan karena perintah undang-undang, melainkan karena panggilan budaya dan rasa tanggung jawab terhadap harmoni desa.

Kekuatan Pecalang terletak pada kedekatan mereka dengan masyarakat. Mereka bukan orang luarmereka adalah tetangga, saudara, dan kerabat. Karena itulah mereka mengenal betul wilayah tugasnya, memahami kebiasaan warganya, dan tahu bagaimana menjaga keamanan dengan pendekatan yang damai dan humanis. Pecalang mampu menyelesaikan masalah tanpa konflik, karena mereka menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan dialog.

Namun bukan hanya soal keamanan. Pecalang juga menjadi penjaga peradaban Bali. Dalam setiap upacara adat dan keagamaan, mereka menjadi pengatur lalu lintas, pengawal prosesi, dan penjaga kesakralan. Mereka hadir dengan wibawa, namun tetap bersahaja. Dalam pandangan wisatawan, Pecalang adalah cermin keunikan Bali tempat di mana modernitas tidak menggerus tradisi, tetapi justru berdampingan dengannya.

Potensi Pecalang sangat besar. Mereka bisa menjadi mitra strategis pemerintah dalam berbagai urusan sosial, mulai dari pengamanan event besar hingga membantu dalam penanganan bencana. Mereka juga bisa dilibatkan dalam upaya pelestarian budaya, pendidikan karakter berbasis lokal, bahkan dalam pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan.

  1. Peran Pecalang dalam Masyarakat Bali
    Pecalang tidak hanya bertugas saat upacara keagamaan atau adat saja, tetapi juga berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Mereka mengatur lalu lintas saat hari raya seperti Nyepi atau Galungan, menjaga ketertiban saat upacara ngaben, hingga membantu dalam penanganan bencana atau kegiatan masyarakat lainnya.

    Meskipun mereka tidak dibekali senjata layaknya aparat keamanan formal, pecalang sangat dihormati karena peran mereka berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas. Mereka bertindak berdasarkan keputusan bersama desa adat (banjar) dan menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab moral dan sosial.

  2. Menjaga Keseimbangan di Tengah Modernitas
    Modernitas membawa perubahan besar di Bali, terutama dengan berkembangnya pariwisata, arus budaya luar, dan teknologi digital. Di tengah perubahan tersebut, pecalang berperan sebagai penjaga nilai-nilai lokal agar tidak tergerus oleh modernisasi yang tidak terarah.

  • Beberapa bentuk adaptasi yang dilakukan pecalang antara lain:
  • Koordinasi dengan aparat formal seperti polisi dan TNI dalam pengamanan event besar. 
  • Penggunaan teknologi seperti komunikasi via ponsel atau radio untuk koordinasi yang lebih cepat. 
  • Pendidikan dan pelatihan bagi pecalang muda agar memahami tugas dalam konteks kekinian.

Namun, yang paling penting, mereka tetap menjunjung tinggi filosofi Tri Hita Karana keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat Bali.

     3. Simbol Harmoni

Keberadaan pecalang di era modern menjadi simbol bahwa tradisi dan modernitas tidak harus saling menyingkirkan, melainkan bisa saling melengkapi. Pecalang menunjukkan bahwa kearifan lokal bisa menjadi benteng kuat dalam menjaga identitas budaya di tengah globalisasi. 

Pecalang adalah bukti hidup bahwa masyarakat adat Bali mampu berdiri teguh dengan jati dirinya, sembari tetap terbuka terhadap perkembangan zaman. Mereka adalah penjaga harmoni Bali—harmoni yang menjadi napas pulau ini, dan yang membuat Bali tetap menjadi pulau yang penuh pesona, bukan hanya karena alamnya, tetapi karena budayanya yang hidup.



Sumber : portalmediabal 


Ratu Gede Mecaling Dalem Nusa Penida

On 10:48 AM with No comments

Berita Hindu Indonesia - Nusa Penida sebenarnya berasal dari kata, nusa yang artinya pulau, sedangkan kata penida berasal dari kata Pandita, atau pendeta atau brahmana utama. Sebenarnya pandita yang dimaksud adalah Hyang Pasupati atau Bhatara Siwa sebagai raja pandita seluruh jagat.


Bhatara Siwa diyakini turun menuju wilayah tersebut pada tahun saka 50, dan berstana di Gunung Mundhi, disertai permaisuri beliau Dewi Uma. Beliau kemudian menjelma menjadi manusia sakti tanpa tanding, tahu akan segala macam ilmu sastra dan mahir dalam segala macam kepintaran. Singkat katanya beliau menjadi seorang pendeta besar bernama Dukuh Jumpungan. Inilah awal dimana pulau pendeta atau Nusa Pandita yang lama kelamaan menjadi Nusa Penida.

Sedangkan istri dari Dukuh Jumpungan yang merupakan penjelmaan Dewi Uma bernama Ida Bhatari Ni Puri. Pada tahun saka 90, Bhatari Ni Puri melahirkan putra perkasa bernama I Merja. Setelah dewasa, I Merja sama saktinya dengan ibu dan ayahnya. Sama-sama memiliki kedigjayaan yang begitu besar dan gemar akan tapa. Ketika dewasa I Merja menikah dengan seorang gadis dari Loka bernama Ni Luna yang turun ke dunia pada tahun saka 97.

Ni Luna juga senang akan tapa brata. Tempat dimana beliau melakukan yoga kini disebut sebagai Pura Batu Banglas. Dari pernikahan mereka, maka lahirlah seorang putra yang sakti bernama I Renggan. Beliau lahir pada tahun saka 150 dan beliau menikah dengan Ni Merahim yang lahir pada tahun saka 160.

I Renggan yang amat sakti gemar akan tapa memiliki perahu anugrah dari Dukuh Jumpungan. Dengan perahu itulah I Renggan menabrak pulau Nusa hingga terbelah menjadi dua bagian. Yang besar bernama Nusa Gede dan yang kecil bernama Nusa Cenik. Nah sekarang beliau ingin menguji perahu (p.9) dan saktinya kepada rakyat Bali, maka berlayarlah I Renggan Padangbai dan di sana beliau banyak membuat ketakutan rakyat Bali.

Anak buah I Renggan banyak menteror masyarakat di sana dan membawa wabah berupa hama dan banyak menyerang tanaman. Hingga berlarilah masyarakat Bali menuju tempat junjungan mereka, yakni Gunung Agung. Ida Bhatara Hyang Tohlangkir tak berkenan dengan kejadian ini. Kemudian beliau melumpuhkan penyakit yang dibawa oleh I Renggan.

I Renggan yang menikah dengan Ni Merahim memiliki dua orang anak, yang putra bernama I Gede Mecaling dan perempuan bernama Ni Tole, lahir pada tahun saka 180. I Gede Mecaling menikah Sang Ayu Mas Rajeg Bhumi.

Pada tahun 250 saka, Gede Mecaling melakukan tapa di Peed dan pengastawan Ida ditujukan kepada Bhatara Siwa.

Karena saking keras tapa dan brata yang dilakukan oleh Gede Mecaling, maka Bhatara Siwa berkenan memberikan anugerah berupa kesaktian Kanda Sanga. Seketika itu juga Gede Mecaling berubah wujud menjadi sangat menyeramkan. Taringnya panjang dan badannya besar sekali. Suaranya menggetarkan jagat raya, dan oleh sebab itulah kemudian Ida Bhatara Indra turun dari Loka untuk mengatasi ketakutan yang dibuat oleh GedeMecaling.

Bhatara Indra memotong taring dari Gede Mecaling dan membuat jagat tentram kembali. Setelah itu berhasil dilakukan, kemudian I Gede Mecaling kembali melakukan tapa hebat memuja Bhatara Rudra. Dengan ketekunan yang dimiliki oleh Gede Mecaling, maka Ida Bhatara Rudra menjadi asih dan memberikan anugerah kepada I Gede Mecaling berupa lima macam sakti yakni: Taksu kesaktian, taksu pengeger, taksu balian, taksu penolak grubug dan taksu pengadakan mrana.

I Gede Mecaling memimpin semua wong samar dan bebutan-bebutan yang ada di bumi. I Gede Mecaling juga memberikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ratu Gede Samudra. Gelar dari I Gede Mecaling yang deiberikan oleh Ida Betari Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. I Gede Ratu Mecaling moksa di Ped dan istrinya moksa di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa bumi Nusa Penida dan dapat wewenang sebagai penguasa kematian. Maka bagi umat yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada beliau I Gede Mecaling yang akhirnya bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling. Akan tetapi karena sering ke Bali dan bertemu dengan Ida Bhatari Ratu Niang Sakti, akhirnya Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Ped juda menjadi Pengabih Ida Bhatari Ratu Niang Sakti

Dalem Sawang menyampaikan pastu yang berbunyi: "Barang siapa yang ingin menyusung Durga Dewi pengastawanya ke dalem Nusa sepatutnya menggunakan kayu perahu sebagai prelingga sarwa mecaling, karena kayu perahu berasal dari pengendrana Ida Bhatara Siwa (Dukuh Jumpungan), maka sidi, sakti, perkasalah dia".

. Ratu Gede Mecaling distanakan dalam Pura Ratu Gede dan diberi nama suci Ida Bhatara Ratu Hyang Agung Ratu Gede Mecaling. Seluruh sakti yang berupa lima macam taksu tadi adalah hal-hal yang menjadi gegambelan Ida Bhatara. Jadi tidaklah mengherankan jika banyak tapakan, balian, jero dalang, topeng, dan penekun kewisesan melakukan tirakat untuk menyenangkan hati Ratu Gede Mecaling agar menerima berkat yang mereka inginkan.

Tidak ada satupun balian yang kalah, tidak ada satu penekun ilmu kewisesan yang kasor jika sudah mendapatkan anugerah dari Ida Bhatara Gede Mecaling. Semuanya akan siddhimandhi, siddhimantra dan siddhi ngucap. Pelinggih beliau adalah ada di Pura Ratu Gede dengan ciri yang berbeda dari pura-pura lain yang terdapat di wilayah Peed. Seluruh busana pura atau wastra pura berwarna poleng. Dari candi bentar, apit lawang, hingga pelinggih utama, semuanya poleng. Itulah cirinya Pura Ratu Gede Mecaling.

Menurut mitologi, hujan di wilayah Klungkung dan sekitarnya adalah ada di bawah penguasaan Ratu Gede Mecaling. Jadi kepada tukang terang dan pawang hujan, jika ingin sukses berkecimpung pada profsesinya, maka jangan abaikan pemujaan kepada Ratu Gede Mecaling Dalem Nusa.

Sumber : Gues Wick Bagus