Berita Hindu Indonesia - Puputan bukan sekadar perang. Ia adalah peristiwa pengorbanan total, pertaruhan martabat, dan wujud ekstrem dari keberanian. Dalam sejarah Bali, Perang Puputan menjadi simbol kehormatan dan keteguhan rakyat Bali dalam menghadapi penjajahan, meskipun dengan nyawa sebagai taruhan.
![]() |
Ilustrasi-Kisah Perang Puputan Bali |
Makna Puputan
Kata puputan berasal dari bahasa Bali, yang berarti "tamat" atau "habis-habisan". Dalam konteks sejarah, puputan merujuk pada perlawanan tanpa kompromi terhadap penjajah Belanda yang dilakukan sampai titik darah penghabisan, tanpa menyerah, tanpa mundur, bahkan jika itu berarti kematian seluruh keluarga kerajaan dan rakyatnya.
Puputan Badung (1906): Api Perlawanan yang Membakar Dunia
Pada 20 September 1906, tentara kolonial Belanda mendarat di Sanur dengan kekuatan militer besar untuk menaklukkan Kerajaan Badung (sekarang Denpasar). Mereka menggunakan alasan diplomatik palsu mengklaim kerajaan tidak taat pada peraturan kolonial dan menolak membayar denda. Namun sejatinya, ini adalah ekspansi kekuasaan.
Yang mengejutkan dunia, alih-alih tunduk, Raja Badung, Anak Agung Ngurah Made Agung, justru memimpin ribuan rakyatnya laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak berpakaian putih upacara, menuju kematian.
Mereka berjalan tenang tanpa senjata, hanya membawa keris, tombak, atau benda sakral, disertai tabuhan gamelan. Saat Belanda membuka tembakan, ribuan rakyat Bali melakukan puputan, menyerbu pasukan dengan senjata seadanya, dan memilih mati terhormat daripada hidup dijajah.
Hasilnya ribuan jiwa gugur. Darah membanjiri Denpasar. Tapi dunia mulai tersadar ada bangsa kecil yang memilih mati demi kehormatan daripada menyerah pada kekuasaan asing.
Puputan Klungkung (1908): Akhir Dinasti, Awal Legenda
Tak lama berselang, giliran Kerajaan Klungkung menjadi sasaran. Belanda datang dengan ultimatum yang sama. Pada 28 April 1908, Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, menyadari tidak ada jalan keluar selain puputan. Ia memimpin perlawanan terakhir bersama keluarga kerajaan dan pasukan setianya.
Di tengah dentuman meriam dan senapan Belanda, mereka bertempur mati-matian. Raja akhirnya gugur, bersama seluruh keluarganya. Klungkung jatuh, tapi semangat perlawanan rakyat Bali menjadi abadi.
Mengguncang Dunia, Menggetarkan Hati
Perang Puputan bukan hanya dikenal dalam catatan Indonesia, tapi juga menggetarkan dunia Barat. Banyak wartawan asing dan fotografer yang merekam peristiwa ini, lalu menyebarkannya ke Eropa. Dunia dibuat terpana: ada bangsa kecil yang lebih memilih bunuh diri massal daripada hidup dijajah. Salah satu kutipan terkenal dari penulis Belanda menyatakan:
“Kami mungkin menaklukkan tanah Bali, tapi kami tidak pernah bisa menaklukkan semangat mereka.”
Warisan Puputan: Keberanian dan Harga Diri Bangsa
Hari ini, monumen Puputan berdiri di Denpasar dan Klungkung sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia dibayar dengan pengorbanan luar biasa.
Perang Puputan Bali bukan soal kemenangan militer. Tapi tentang kehormatan, identitas, dan tekad untuk tidak tunduk pada ketidakadilan. Semangat ini hidup dalam masyarakat Bali hingga kini dalam adat, dalam seni, dan dalam jiwa mereka yang tetap menjunjung tinggi kemuliaan budaya di tengah arus zaman.